Selasa, 21 Februari 2012

Tombak Kalijaga


Islamedia - Masih muda. Sudah berhaji. Orang-orang kampung sini memanggilnya Mas Haji. Ia baru pulang dari luar negeri. Bukan dari Mekkah. Tapi dari Negeri Ginseng. Ia baru saja meraih gelar magister di bidang Bioteknologi. Hajinya sudah dua tahun lalu, sehabis ia menjalani wisuda sarjana.

Waktu itu, Mas Haji menang lomba penelitian ilmiah tingkat nasional. Penelitiannya berhasil memberi sumbangsih penting bagi pengembangan vaksin meningitis dari bahan halal. Ternyata pemerintah sangat menghargai hasil karyanya itu. Tidak tanggung-tanggung, pihak Depag menghadiahinya paket ibadah haji. Seluruh biaya ditanggung negara.

Seusai berhaji, ia tidak pulang ke Indonesia, tapi langsung ke Korea Selatan. Jadwal perkuliahan S2 mengharuskannya mengambil langkah demikian. Di sana, Mas Haji juga dapat beasiswa.

Sebagai putra daerah berprestasi, Mas Haji sangat dibanggakan dan dihormati. Beberapa kali ia masuk layar televisi. Rencananya, selama enam bulan ia berada di kampung halaman. Selain mengunjungi Panti Asuhan tempat ia menghabiskan masa kecil, agenda penting lainnya adalah untuk menikah. Mas Haji berjodoh dengan Siti Muthmainnah atau biasa dipanggil Neng Siti, seorang pegawai bank syariah.

Yang terakhir ini adalah putri semata wayang dari Kyai Naquib, pemimpin Pondok Pesantren At-Ta'dib. Sebagian besar ulama di kabupaten menaruh hormat terhadap Kyai Naquib. Kyai lulusan Timur Tengah itu tergolong kritis. Neng Siti sendiri adalah teman Mas Haji semasa SMA. Tapi perkenalan mereka terjadi karena Prof. Hasim, yang merupakan ayah asuh Mas Haji, tak lain adalah dosen Neng Siti. Prof. Hasim juga adalah karib Kyai Naquib, semasa muda, sampai sekarang. Jadilah perjodohan itu seperti serba kebetulan. Meski keduanya yakin, bahwa itu tak lain merupakan takdir yang telah Allah guratkan.

Walimatul 'ursy berlangsung sederhana. Setelah menikah, Mas Haji jadi punya kesibukan lain, yakni membantu pengelolaan taman bacaan yang sudah dirintis Neng Siti sebelumnya. Taman Bacaan itu tambah sibuk. Anak-anak sekolah sampai diantar orangtuanya untuk sengaja berkunjung. Ibu-ibu pengajiannya Kyai Ta'dib juga membawa putra-putri mereka.

Di taman bacaan itu, Mas Haji menyempatkan diri bercerita segala sesuatu tentang iptek dan Korea Selatan. Dalam suatu kesempatan, Mas Haji bercerita bagaimana orang di negeri empat musim sana, mulai mencoba bercocok tanam pisang.

Sedangkan Neng Siti yang lulusan Ekonomi Syariah, kebagian bertutur tentang berbagai cerita hikmah, terkadang mengajari keterampilan menyulam dan membuat kue, sambil berbagi inspirasi bisnis kepada ibu-ibu.

Di luar urusan taman bacaan, setiap pekan banyak tamu berdatangan. Neng Siti dengan sabar menyajikan suguhan dan mendampingi Mas Haji ketika diminta.

Nama Mas Haji pun kian populer. Sejumlah media mulai mengabarkan kemungkinan Mas Haji menjadi Bupati dalam Pilkada terdekat. Apalagi setelah sebuah koran lokal melakukan polling pembaca dan menempatkan Mas Haji di posisi pertama.

Hingga suatu ketika, Pesantren At-Ta'dib menerima jadwal kedatangan Pak Bupati. Ketika tahu rencana Pak Bupati untuk bertamu, Kyai Naquib cuma senyum-senyum saja. Kyai teringat peristiwa yang sama empat tahun sebelumnya, saat itu mau Pilkada.

“Abah sudah ada jadwal ke Jakarta. Besok kamu yang terima Pak Bupati ya, Had!” kata Kyai Naquib yang masih bersila ditemani kitabnya di dekat mihrab masjid, pada suatu malam.

“Insya Allah, Abah. Adakah amanah yang harus saya sampaikan?” tanya Mas Haji.

“Tidak ada. Abah malah yakin, Pak Yudha itu justru sebenarnya mau bertemu kamu,” kata Kyai Naquib.

“Justru pesan Abah buatmu, renungilah kembali perintah Allah kepada Nabi Musa dan Nabi Harun untuk berkata lemah-lembut ketika berdakwah kepada Fir'aun,” lanjutnya.

“Insya Allah, Abah. Saya sangka tadi Abah akan berpesan bahwa jihad yang utama adalah berkata kebenaran di hadapan penguasa,” seloroh Mas Haji.

“Ah, kalau itu kau tentu jauh lebih hafal lah!” timpal Kyai Naquib sambil membuka kitab di hadapannya.

“Sudah, itu saja yang mau Abah sampaikan. Lekaslah ke sana temui istrimu. Sekarang masih malam Jum'at,” balas Kyai Naquib berseloroh.

Mas Haji hanya menahan senyum, lalu mencium tangan Kyai Naquib. Masjid At-Ta'dib itu kemudian terisi suara lirih, suara mengaji dari seorang lelaki tua yang juga sedang membendung kenangan aktivisme masa mudanya. Sesaat ia berhenti, ketika tiba-tiba terkenang almarhumah istrinya, matanya memejam lama.

***

“Sayang sekali Pak Kyai nya sedang keluar ya. Rasanya sudah lama kami tidak berkunjung ke sini. Sepertinya Pesantren Pak Kyai tambah ramai saja,” kata seorang tamu.

Seorang tamu lain masih duduk dengan posisi yang gelisah, seakan tidak nyaman duduk lesehan. Dari pakaian yang dikenakannya terlihat dia adalah seorang pejabat pemerintah.

Belum sempat Mas Haji menjawab, salah seorang tamu lain lagi tanpa mengenalkan diri, berkata.

“Jadi begini. I am is Saidi. Firstly, we're so sorry tidak dapat menghadiri undangan pernikahan Anda. We congratulation you, kami sampaikan selamat menempuh hidup baru,” tutur tamu itu.

“Kedua, frankly, kami senang dan ikut berbangga with your present in our neighborhood Mas Haji,” lanjutnya.

“Terima kas..” balas Mas Haji seraya tersenyum, tapi segera ditukas oleh Pak Pejabat,

“Katanya Anda cuma sebentar saja tinggal di sini?” kata Bapak berperut tambun yang sedari tadi menunjukkan wajah masam. Wajahnya masih celingak-celinguk melihat-lihat ruang tamu yang nyaris kosong melompong itu, kecuali rak berisi penuh buku di sudut ruangan.

“Insya Allah enam bulan, Pak. Jadi sekitar empat bulan lagi baru saya akan ke Jakarta,” timpal Mas Haji dengan tegas.

“Oh, ya, ya. Maaf, sampai lupa, dari tadi belum memperkenalkan diri. Saya Ketua DKM Masjid Agung, Haji Zaini. Kemudian ini, Mister Saidi, Kepala Kantor Depag, tahun depan mau seleksi beasiswa Islam ke Amerika...”

“Islamic studies,” kata Pak Saidi menyela. Haji Zaini menengok sebentar dan mengangguk.

“Nah, kalau beliau Pak Bupati, beliau ini sudah haji tiga kali. Beliau juga sudah beres MSc di Bandung,” terang Haji Zaini panjang lebar, seakan tidak menghiraukan jawaban Mas Haji barusan.

“Subhanallah. Semoga rakyat mendapat yang terbaik dengan kualitas pemimpin seperti Bapak-bapak semua,” sanjung Mas Haji. Suasana masih dingin. Sanjungan Mas Haji seperti angin lalu. Wajah-wajah tamu itu tetap saja tampak kaku.

"Maksud saudara, saudara merasa lebih berkualitas, begitu? Lalu ingin menjadi pemimpin di kabupaten ini?" tanya Pak Bupati tiba-tiba.

Mas Haji terlihat terkejut.

"Lho, bukan begitu Pak..." belum selesai Mas Haji berbicara.

“Kami to the point saja. Kedatangan kami ini hendak mengundang Mas Haji, agar berkenan menjadi Imam dan Khatib shalat Jum'at di Masjid Agung,” kata Pak Saidi.

“Kami melihat masyarakat di daerah ini begitu ingin bertatap muka dengan Mas Haji. Mudah-mudahan dengan kesediaan Mas Haji berkhutbah di Masjid Agung, kerinduan masyarakat dapat sedikit terpenuhi,” urai Pak Zaini menambahkan.

“Insya Allah saya bersedia. Saya berterima kasih atas kepercayaan Bapak-bapak semuanya,' jawab Mas Haji tanpa basa-basi.

Raut muka Pak Bupati terlihat agak kaget. Tak disangka Mas Haji akan cepat mengiyakan undangannya. Ia mengira tidak sebegitu cepat.

“Kami menjadwalkan untuk Jum'at pekan depan, Mas Haji yang bertindak sebagai khatib,” kata Haji Zaini menukas, seperti mengerti situasi yang terjadi.

“Baiklah, Insya Allah,” jawab Mas Haji tegas.

***

“Cilaka! Cilaka! Cilaka itu Si Dayu!” teriak seorang tua yang sering meringkuk di depan masjid agung. Orang-orang menganggapnya sudah gila. Tapi penampilannya cukup rapi untuk ukuran orang gila.


Dulu ia adalah penjaga masjid. Sampai kemudian empat tahun lalu, ia ditemukan babak belur nyaris tak bernyawa di dalam bedug. Menurut kabar yang beredar, saat itu ia tengah berusaha menghadang para pencuri yang masuk ke masjid.


“Tombak Kalijaga! Tombak Kalijaga! Bakal cilaka Si Dayu!” teriak Kakek Tua berulang-ulang setiap kali terbangun dari tidurnya.

Tidak ada yang sempat menangkap samar suaranya, kecuali sejumlah penjual makanan yang biasa mangkal, dan beberapa orang yang hilir mudik di tengah kesibukan harian. Hanya seorang saja yang cukup jelas mendengar dan mengerti apa yang dimaksud Kakek Tua itu.

***

“Kamu diundang khutbah Jum'at?” tanya Kyai Naquib setelah tiba kembali dari Jakarta dan berbincang lagi dengan Mas Haji di tempat dan pada waktu yang biasa.

“Lho, Abah tahu?” kata Mas Haji balik bertanya.

Kyai Naquib mengangguk pelan. Mas Haji tidak melihat tanda bahwa Abah ingin menjelaskan apa maksud anggukannya itu.

***

“Hah! Si Tulang Renta itu berulah lagi? Kenapa dulu tak kalian habisi saja sekalian!” teriak seseorang sambil menggebrak meja kantornya.

“Tapi sepertinya itu cuma mitos, Pak. Mana ada di zaman sekarang kejadian takhayul begitu,” timpal seorang lain yang merasa pertama kali tahu informasi takhayul itu.

“Biarpun mitos, legenda, apapun lah namanya, we must to awareness. Even on the west we know something called voodoo, stupid!” balas orang yang lain lagi sambil berdiri.

***

Kakek Tua masih saja meneriakkan rutukan yang sama. Mulanya hanya terdengar samar oleh satu orang yang melintas di jalan. Lalu dua, tiga, empat orang. Selanjutnya cerita pun tersebar, kembali beredar dari mulut ke mulut. Tentang Si Dayu. Tentang Tombak Kalijaga.

Tombak Kalijaga adalah nama tombak yang biasa dipakai di Masjid Agung. Konon ia adalah salah satu peninggalan Sunan Kalijaga, atau peninggalan salah satu muridnya atau salah satu murid dari salah satu muridnya lagi. Bagi sebagian orang yang mempercayai, tombak itu dianggap punya kekuatan mistik.

Empat tahun lalu tombak itu pernah nyaris hilang. Tapi kemudian jama'ah menemukannya tergeletak di dalam bedug, bersama Kakek Tua.

Konon, tatkala tombak itu dipegang oleh orang suci, maka si tombak akan terlempar dengan sendirinya. Tombak yang terlempar itu akan menyasar kepada orang jahat, siapapun dia, tanpa pandang bulu.

Sedangkan tentang “Si Dayu”, orang-orang membicarakannya secara bisik-bisik, orang-orang sudah tahu. Kakek Tua itu memang dikenal senang membolak-balikan nama orang yang dipanggil dalam rutukannya.

***

“Abah sampai difitnah macam-macam. Makanya pesantren ini jadi sepi. Baru mulai rame lagi setelah kedatangan kamu, Had!” kata Kyai Naquib menutup penjelasan.

Mas Haji berusaha merekaulang lagi apa kira-kira yang pernah terjadi. Memang pilihan Abah dapat dimakluminya. Bagi Abah, khatib Jum'at itu tidak perlu memegang tombak segala. Tapi kalau karena itu Abah difitnah, berarti ada hal lain yang disembunyikan. Sayangnya Abah tidak mau bercerita.

Keingintahuan Mas Haji terjawab melalui Neng Siti.

“Abah teh difitnah sebenernya bukan karena itu. Bukan karena soal tidak mau berkhutbah sambil memegang tombak. Bukan karena Abah mengikuti pendapat bahwa adzan Jum'at cukup satu kali. Tapi lebih karena dulu Abah itu ikut bersuara. Dulu Abah ikut Deklarasi Tolak Politisi Korup. Abah juga termasuk yang kritis terhadap money politics, penyelewengan dana pembangunan Islamic Centre, penggelapan anggaran bantuan bencana alam, banyak pisan. Makanya Abah sampai didepak dari daftar khatib masjid Agung. Padahal dari dulu juga Abah mah biasa khutbah tanpa membawa-bawa tombak. Jama'ah juga sudah maklum, sudah semakin mengerti tentang keberagaman fiqh. Tapi ujug-ujug bae Abah difitnah macam-macam pakai isu-isu khilafiyah. Malah mah sampai didepak juga dari Badan Amil Zakat Daerah,” tutur Neng Siti.

“Kemudian Abah mengambil jarak dengan politik. Abah ingin fokus mengurusi pesantren walaupun tambah sepi. Tapi belakangan orang-orang mulai mengerti tentang apa Abah yang lakukan dulu. Sekarang Pak Bupati itu teh kan sudah berstatus tersangka, Mas. Katanya sudah dipanggil KPK, tapi belum mau menghadap juga,” urai neng Siti seperti tidak mau berhenti.

Mas Haji hanya ber-ooo dan ber-hmm beberapa kali, menikmati penjelasan istrinya itu.

“Tapi dari mana Abah tahu soal seluk beluk ekonomi dan keuangan ya?” tanya Mas Haji dengan mimik serius.

“Ya dari putrinya atuh.” neng Situ tersenyum bangga.

“Tapi Abah juga masih sering berkirim surat dengan Prof Hasim di Jakarta,” jelas Neng Siti, masih dengan wajah manja.

“Termasuk pas kemarin ke Jakarta, juga...?” tanya Mas Haji.

Neng Siti hanya mengangguk. Air mukanya sedikit berubah, Dalam hatinya, Neng Siti menyembunyikan getaran kesedihan. Ia khawatir apakah kelak Kangmasnya akan mendapat ancaman pembunuhan, ancaman yang juga pernah menimpa Abahnya.


“Neng, Mas mohon maaf. Waktu mengambil buku dari rak buku kita, Mas menjatuhkan buku catatanmu. Terus Mas baca sebagian isinya. Apakah itu semacam hmm, buku hmm?” tanya Mas Haji tanpa sadar bahwa istrinya sampai bangun dari rebahnya dan terduduk menyimak.

“Buku apa, teruss apa?” lanjut istrinya dengan pandangan mendelik, bibir tersenyum dan bantal terangkat kedua tangannya.

“Hei, Mas kan minta maaf,” tukas Mas Haji dan ikut bangun juga sambil menyilangkan kedua tangannya dengan cepat.

“Mas baca Neng mau mendirikan koperasi syariah. Mas dukung itu! Cuma baca bagian itu saja kok” tambah Mas Haji sambil bersiap merebut bantal dari ancang-ancang istrinya. Meski terlambat.

***

Jum'at itu pun tiba. Adzan kedua sudah dikumandangkan. Mas Haji membuka khutbahnya sebagiamana khutbah Jum'at lazimnya.

Khutbah pertamanya teramat pendek. Mas Haji menyinggung betapa islam yang rahmatan lil 'alamiin begitu menjunjung tinggi penegakan keadilan. Mas Haji menerangkan bahkan Tuhan sendiri tidak berlaku zalim, bahwa keadilan itu lebih dekat kepada taqwa. Mas Haji juga menceritakan kisah seorang Mesir yang mengajukan keluhan kepada Umar bin Khaththab.

Keluhan orang Mesir itu kemudian dijawab Umar dengan menggoreskan huruf alif pada sepotong tulang. Setelah menerima pesan Umar melalui orang Mesir yang protes itu, Gubernur Mesir kemudian merasa ketakutan. Ternyata goresan sederhana itu adalah pesan untuk berlaku adil, tidak mengambil hak orang, apalagi hak rakyat yang diamanahkan kepadanya.

Tapi belum lagi Mas Haji duduk untuk jeda khutbah kedua, dari barisan pertama tiba-tiba terdengar teriakan. Teriakan histeris itu ternyata suara Pak Bupati. Tangan kanannya menutup muka. Tangan kirinya menunjuk-nunjuk.Duduknya melonjak-lonjak.

“Tangkap! Tangkap teroris! Dia mau membunuh saya! Lihat! Tombak! Tombak! Dia mau membunuh saya!” teriak Pak Yudha, Sang Bupati.

Ia menggeser duduknya dengan cepat, ke barisan di belakangnya. Sampai memecah shaf yang sudah rapi. Ia berdiri, lalu berjalan mundur dengan terburu, seperti hendak berlari, tapi beberapa kali terjatuh karena tersandung kaki jama'ah yang tak sempat menghindar.

“Kamtib, satpam, Polisi, catch the boy! Tangkap anak haram itu! Terrorist! Terrorist!” teriakan terdengar dari mulut lain, rupanya dari mulut Pak Saidi.

“Istighfar Pak, istighfar Pak!” kata seseorang yang terlihat ikut kerepotan.

“Istighfar, kita sedang Jum'atan. Nanti batal Jum'atannya,” ujar orang itu lagi yang tak lain adalah Haji Zaini.

Hampir semua orang menoleh, mengarahkan pandangan ke arah mereka. Orang-orang mengerutkan dahi. Mas Haji masih bergeming di mimbar, sambil terus bertanya-tanya dalam hati, apa sebenarnya yang sedang terjadi.

***

Di loteng masjid agung yang tersembunyi, darah masih mengalir segar, merayapi sela-sela keramik putih, lalu terkumpul memerahkan suatu bagian persegi yang copot keramiknya. Tak jauh dari sana, seorang tua meringkuk tak berdaya. Sebilah tombak ikut rebah dalam dekapannya, terikat kuat bersama tubuhnya.

Aristo Ghazali


OASE

SYARIAH

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons | Re-Design by PKS Piyungan